Surabaya – (24/6) Rabu (18/6/2014) telah menjadi hari yang bersejarah bagi
warga Surabaya dalam
dunia prostitusi. Sebab, lokalisasi yang konon terbesar di Asia Tenggara, yakni
lokalisasi Dolly, ditutup oleh pemerintah Kota Surabaya. Penutupan tempat prostitusi yaitu ingin mengubah sebutan kota seribu
Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan kota budaya. Wali Kota Tri Rismaharini
menginginkan, Surabaya, bukan lokalisasinya yang disebut-sebut, tapi budayanya.
Surabaya yang memelihara budaya positif warganya.
Penutupan
Dolly, adalah cerita akhir upaya Risma membersihkan Surabaya dari lokalisasi.
Sebelumnya, tiga titik lokalisasi sudah ditutup sejak akhir 2013, oleh wali
kota yaitu lokalisasi Dupak Bangunsari, Moroseneng, dan Sememi.
Dolly
berada di kelurahan putat jaya, kecamatan sawahan, Surabaya. Keberadaan dolly
ini sudah di akui dalam peta maupun tata kota pemkot atau bahkan dalam ruang
lingkup internasional. Letaknya pun meluas dari bagian barat gang dolly sampai
ke bagian timur hingga memasuki sebagian jalan jarak.
Dolly dirintis
oleh seorang wanita yang bernama Dolly
Khavit. Lokalisasi dolly ini dulunya ialah kompleks pemakaman tionghoa. Namun,
pada tahun 1960 kawasan itu dibongkar dan dijadikan pemukiman dan pada tahun
1967 salah satu pemukiman ini diubah menjadi wisma. Melalui buku yang berjudul dolly, kisah pilu yang terlewatkan dijelaskan
bahwa Dolly Khavit ini membangun wisma dikarenakan kesepian dan merasa sakit
hati karena ditinggal suaminya yang seorang pelaut.
Keberadaan
dolly ini memang selalu menuai pro dan kontra. Ada bagian orang yang merasa tempat
dolly ini membuahkan rejeki karena
banyaknya pengunjung yang datang dari dalam maupun luar negeri setiap
harinya tapi, ada juga bagian orang
merasa risih dengan adanya tempat lokalisasi ini di Surabaya. Prostitusi di
Surabaya ini sangat bermacam-macam mungkin yang terkenal adalah Dolly tapi sebenarnya banyak tempat prostutusi yang tersebar di daerah Surabaya yang
berkedok sebagai jasa pijat urat, karaoke, bahkan salon dan jika dari jenis
kelamin ada perempuan, laki-laki hingga transgender.
Penutupan dolly tidak sejalan
dengan penutupan jasa panti pijat
yang berkedok untuk prostitusi, walaupun izin tempat di terima dan sudah diatur di pemkot. Pemerintah
sepertinya kecolongan karena adanya praktik asusila di tempat tersebut. Misalnya,
terapis yang memberikan servis sampai making love (ML). Seperti
yang di ungkapkan oleh salah satu
Terapis di kawasan Kutai, Habib Syamsul, Habib Syamsul biasanya melayani pengobatan alternatif dan pijat tradisional. Awal mula dari pijat
tradisional ini yaitu melanjutkan usaha neneknya yang sudah berlangsung pada
tahun 2000.
Walaupun
dia bukan terapi plus-plus tapi
dari kejadian yang pernah di alami samping rumahnya
yang membuka panti pijat membuat
Syamsul mengerti
malfungsi dari panti pijat itu sendiri yaitu dengan kehadiran orang-orang yang
mayoritas laki-laki dan para
pegawai yang bekerja, memakai
baju minim dan sambil joget-joget.
Dari
berbagai kesaksian mata dan kesaksian dari pegawai pijat urat lainnya yang
diungkapkan Syamsul,
memang benar hampir sebagian besar layanan prostitusi itu tidak hanya di gang
dolly saja melainkan bisnis panti
pijat urat juga berkedok
prostitusi.
Atas pengalaman pribadi yang pernah terjadi di gang rumahnya, Syamsul
mencari tahu kepada salah satu pegawai pantai pijat yang
tidak hanya buka di dekat rumah tapi jauh dari kawasan rumahnya. Dari temuannya
Syamsul mengatakan bahwa panti pijat rata-rata terdapat praktek prostitus untuk
mendapatkan banyak pelanggan.
“Banyak mbak, panti pijat di Surabaya yang buka esek-esek. Ijinnya buka salon tapi buat cowok
dan yang datang itu mobilan biasanya, saya juga tahu kalau di panti pijat urat
dijalan sekali esek-esek plus tidurnya bisaa sampai jutaan. Jadi, kalau dolly tutup kemungkinan besar eks
PSK dolly akan jadi pegawai pijat esek-esek,” tuturnya pada saat di temui di Rumahnya.
Keresahan yang pernah di rasakan sendiri
membuat dirinya melakukan
GERAKAN
penutupan panti pijat malfungsi dengan cara mengajukan
keresahannya kepada
HUMAS (Hubungan Masyarakat) Pemerintah
Kota Surabaya. Namun, keinginannya mungkin tidak dapat
direalisasikan mengetahui bahwa Syamsul
merasa
di persulit dan sampai sekarang
juga tidak ada tanggapan lebih. Kini
Syamsul hanya
bisa berharap tidak hanya tempat yang jelas prostistusi seperti Dolly saja yang ditutup tapi juga tempat
prostitusi yang lainnya seperti panti
pijat karena panti pijat sekarang ini sudah mulai bermunculan dan semakin
menyebar di setiap bagian wilayah Surabaya. Faktor meluasnya praktik panti
pijat ini juga di lihat dari tingkat keamanan yang sangat minim sehingga
prostitusi bisa berjalan tanpa adanya grebek dari instansi terkait.
Seharusnya
ini sudah menjadi hal umum di masyarakat bahwa panti pijat juga bisa
dikategorikan sebagai tempat prostitusi seperti halnya yang diungkapkan oleh Syamsul yang sebagai tenaga pijat
tradisional. Walaupun dirinya
tidak merasa tersaingi akan praktek-praktek nakal, akan tetapi kepeduliannya terhadap
penutupan dolly yang tak diikuti penutupan panti pijat
bisa menjadikan polemik besar juga bagi Pemerintah Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar